Apa perbedaan hukum untuk orang mabuk dan orang tidak waras? Apakah konsekuensi hukumnya sama? Apakah keduanya ada kewajiban shalat?
Kali ini kita ulas dari penjelasan kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman ditulis ketika Imam Syafii masih hidup, halaman 176-178. Kami ringkaskan intisarinya sebagaimana berikut.
Poin 353
Disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Poin 354
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat di atas diturunkan sebelum diharamkannya minuman keras (khamar).
Poin 355
- Al-Qur’an menunjukkan bahwa orang yang mabuk tidak boleh shalat kecuali setelah dirinya memahami apa yang dikatakannya, karena ketidakpahaman pada perkataannya sendiri merupakan permulaan larangan shalat baginya.
- Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai tidak bolehnya orang berhadats besar untuk shalat sebelum dia bersuci.
Poin 356
- Jika sebelum diharamkan minuman keras, orang mabuk dilarang menjalankan shalat. Setelah minuman keras diharamkan, orang mabuk lebih dilarang untuk shalat. Sebab, orang shalat dalam keadaan mabuk sedang melakukan dua kemaksiatan: (1) dia shalat dalam kondisi yang terlarang untuk shalat, (2) dia meminum minuman keras.
Poin 357
- Shalat merupakan perkataan (qaul), tindakan (amal), dan pencegahan diri (imsak).
- Jika seseorang tidak bisa memahami bicara dan tindakannya serta tidak tahu mencegah diri sendiri, orang itu tidaklah melakukan shalat sebagaimana yang diperintahkan. Shalat yang dilakukan saat itu tidak sah. Apabila telah sadar, ia harus mengqadha’nya kembali.
Poin 358
- Orang yang akalnya tidak waras berbeda dari orang yang mabuk. Sebab, orang yang tidak waras tidak bisa menghindari ketidakwarasannya. Sementara orang mabuk berarti sengaja mabuk, menjerumuskan diri dalam mabuk.
- Orang yang mabuk harus mengqadha perintah Allah yang ditinggalkannya. Sedangkan orang yang tidak waras pikirannya tidak harus melakukan hal serupa.
Poin 361
- Nasakh adalah meninggalkan suatu kewajiban yang benar pada masanya. Meninggalkannya pun adalah suatu kebenaran jika memang Allah telah menasakhnya.
- Orang yang menemuinya pada saat diwajibkan, ia harus taat dengan menjalankannya dan taat pula dengan meninggalkannya. Adapun orang yang tidak menemui momen saat diwajibkan, ia harus mengikuti kewajiban baru yang menasakh.
- Contoh yang disebutkan pada poin 359 dan 360, tentang awalnya dahulu menghadap Baitul Maqdis, lalu diperintahkan menghadap Kabah.
Kesimpulan: Terkait hukum shalat, orang mabuk dan orang tidak waras tidak diperkenankan untuk shalat. Akan tetapi, orang mabuk diperintahkan qadha’ shalat. Sedangkan, orang tidak waras tidak diperintahkan qadha shalat.
Baca juga: Hukum Orang Junub Masuk Masjid
Referensi:
Ar-Risalah Imam Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1429 H. Tulisan Ar-Rabi’ bin Sulaiman ditulis ketika Imam Syafii masih hidup. Penerbit Darul Atsar.
—
Kamis Malam Jumat, 3 Safar 1443 H, 9 September 2021
@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com